Pagi itu, aroma koran bekas dan kehangatan nasi yang dihancurkan menjadi lem, memenuhi meja kayu SMP kelas 1. Hari pengumpulan tugas kliping sains tentang bahaya pencemaran udara.
Saya, dengan kekosongan di depan mata, panik. Semua teman sudah siap. Hanya ada sisa-sisa koran, dan mata saya tertuju pada satu berita—foto mobil yang hangus, dikelilingi kepulan asap hitam yang dramatis. Tidak relevan? Tentu saja. Tapi ini adalah perangkap deadline.
Dengan tekad seorang hacker yang kehabisan waktu, saya tempel berita itu. Saya merangkai narasi darurat: Asap mobil ini hanyalah bisikan polusi. Bayangkan teriakannya—kebakaran hutan, pabrik, dunia yang terancam.
Saat guru membaca, keheningan menyelimuti kelas. Matanya melebar, ekspresi keheranan yang jujur.
"Ini siapa yang buat, kamu ya Lana? Jenius sekali kamu, bisa loh menghubungkan seperti ini."
Saya bangga. Saya merasa unik, seorang troubleshooter yang bisa memutar baliknya.
Namun, butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari kebenaran mutlak: Itu bukan pujian. Itu adalah sindiran paling halus dan menusuk yang pernah saya terima. Saya tidak jenius. Saya bodoh, tidak niat, dan tidak bekerja dengan becus. Keunikan saya saat itu hanyalah hasil dari kecerobohan yang disamarkan oleh improvisasi.
0 Response to "Pelajaran dari Asap Hitam dan Lem Nasi Basah"
Posting Komentar