Saya mau cerita tentang perjalanan hidup yang awalnya saya anggap sebagai “keberuntungan”, tapi makin ke sini saya sadar—itu sebenarnya adalah langkah-langkah kecil yang tepat. Kadang kita ngambil keputusan tanpa mikir panjang, tapi ternyata itu jadi titik balik penting dalam hidup.
Awal Mula Suka Teknologi
Sejak SMP saya udah tertarik sama teknologi. Saking penasarannya, saya mulai bikin blog pertama di mywapblog—platform blog mobile-friendly buatan Arvind Gupta dari India. Nggak lama, saya juga coba bikin situs wap pakai Xtgem, dan lucunya, situs itu masih aktif sampai sekarang: ngeewap.xtgem.com.
Minat itu terus berlanjut. Saya pilih jurusan Teknik Komputer dan Jaringan saat SMK. Ya, karena saya merasa ini dunia yang cocok buat saya—ada rasa penasaran yang terus tumbuh tiap kali belajar hal baru tentang teknologi.
Terseret ke Dunia Seni
Waktu SMA, saya dikelilingi teman-teman yang punya jiwa seni tinggi. Maklum, saya sekolah di Bali, tempat di mana seni itu kaya dan hidup banget. Awalnya saya nggak bisa gambar sama sekali. Tapi karena sering lihat teman melukis, saya ikut-ikutan.
Iseng-iseng gambar kartun, terus berkembang sampai bisa gambar wajah manusia. Tanpa sadar, saya menikmati prosesnya. Kata orang, lingkungan bisa bentuk kita—dan itu bener banget.
Kuliah & Dua Dunia
Tahun 2018 saya masuk kuliah, ambil jurusan Informatika. Jujur aja, saya belum benar-benar paham waktu itu kuliah ini bakal belajar apa. Tapi yang penting berhubungan sama teknologi, pikir saya. Di sana saya belajar hal-hal dasar: algoritma, logika matematika, dasar pemrograman.
Tapi saya tetap melukis. Sampai akhirnya muncul ide: gimana kalau saya gabungin teknologi dan seni? Tahun 2019 saya kenal dengan desain vektor, mulai belajar dari nol pakai CorelDRAW X7. Lama-lama saya bisa bikin ilustrasi vektor dan mulai open commission. Di titik ini, saya memutuskan untuk berhenti melukis manual dan kasih semua alat lukis saya ke teman yang dulu jadi inspirasi. Semacam penyerahan tongkat estafet, gitu.
Mikir Ulang
Makin ke sini, saya sadar bahwa desain vektor meskipun nyambung ke teknologi, tetap beda jauh dari dunia coding yang sedang saya pelajari. Saya mulai mikir: Mau sampai kapan nunggu orderan masuk? Karena desain vektor itu umumnya satuan—klien perorangan. Kalau nggak ada pesanan, ya nggak ada pemasukan.
Beda dengan dunia aplikasi. Sekali project jalan, bisa terus berkembang—ada maintenance, ada fitur baru, ada update berkala. Kesempatan tumbuh terus ada.
Tahun 2020 saya akhirnya ambil keputusan: berhenti total dari vektor, dan fokus ke coding. Bukan berarti saya nggak suka desain lagi, tapi saya lihat peluang karier jangka panjang saya ada di sini.
Ternyata Langkah yang Tepat
Dan ternyata keputusan itu bukan cuma tepat, tapi sangat tepat.
Sebelum lulus, saya udah dapat beberapa side job di bidang coding. Saya sempat magang di perusahaan telekomunikasi yang cukup besar di Indonesia, ikut program dari Google Bangkit Academy, bahkan sempat kerja remote untuk Maxomorra AB sebuah perusahaan produksi baju asal Swedia untuk mengembangkan sistem penjualan.
Tahun 2022, teknologi AI mulai naik, termasuk ChatGPT. Banyak yang bilang AI bakal menggantikan programmer, tapi saya sendiri nggak terlalu khawatir. Saya justru pakai AI sebagai asisten, bukan pengganti. Coding itu kompleks, dan AI nggak bisa langsung ngerti konteks aplikasi semudah itu. Tapi ya, bantu banget—terutama buat debugging atau nyari referensi cepat.
Lalu AI buat gambar mulai booming. Sekarang orang bisa generate desain vektor dalam hitungan detik. Kalau dulu saya masih stay di dunia itu, mungkin saya udah pusing mikirin gimana bersaing sama teknologi.
Tapi justru itu yang bikin saya bersyukur. Saya udah lebih dulu pindah haluan. Sekarang saya kerja di bidang yang saya suka, yang secara teknis belum bisa digantikan sepenuhnya oleh AI. Bikin aplikasi itu nggak cukup dengan prompt—harus ada arsitektur, logika, struktur, dan komunikasi tim yang solid. Masih banyak ruang untuk kreativitas manusia di situ.
"Dan yang penting sekarang, kita nggak bisa nolak kehadiran AI. AI bukan musuh, tapi partner. Kita harus bisa kerja sama dan menyesuaikan diri. Dengan AI, pekerjaan yang dulu berat jadi lebih ringan, dan kita bisa fokus ke hal-hal yang butuh sentuhan manusia seperti inovasi dan pengambilan keputusan kompleks. Jadi, daripada takut digantikan, mending manfaatkan AI sebagai alat bantu untuk berkembang."
Akhirnya...
Hari ini saya benar-benar berada di jalur itu. Saya kerja di posisi yang menurut saya pas banget, sambil tetap jalanin freelance bikin aplikasi. Dan saya ngerasa bersyukur banget, karena ternyata keputusan yang dulu saya anggap cuma ikut kata hati... sekarang jadi penentu jalan karier saya.
Kadang keberuntungan itu bukan soal hoki. Tapi tentang berani ambil langkah, dan mau belajar dari setiap proses. Dan tentu saja, siap beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang, termasuk AI.
Written by Hairul Lana, enhanced by ChatGPT
hairullana.dev
0 Response to "AI Bikin Saya Makin Yakin: Pilihan Dulu Itu Nggak Salah"
Posting Komentar